Monday, December 1, 2008

Twilight Zone



Sekitar 3-4 minggu yang lalu seorang rekan saya berteriak di jendela Yahoo! Messenger saya.


“Udah baca twilight beluuum? Akhir November film-nya udah maeeen......”

“Udah beliii....tapi blum sempet baca niiih....” keluh saya.


Rekan saya itu sudah sangat tidak sabar untuk menonton film yang diangkat dari Novel karya Stephanie Meyer berjudul Twilight.
Setelah memiliki sedikit waktu luang, saya menghabiskan 2 novel lain karya Arswendo Atmowiloto, Horeluya dan Kau Memanggilku Malaikat. Tidak terbersit dalam pikiran saya waktu itu untuk membaca Twilight. Padahal novel itu sudah cukup lama bertengger dengan manis di rak buku saya dalam keadaan masih terbungkus plastik.
Barulah dalam minggu ini, ketika euforia film Twilight ini bergema dimana-mana, saya teringat untuk membaca novel tersebut.


Beberapa novel yang diangkat ke layar lebar, biasanya sudah saya baca terlebih dulu novelnya sebelum menonton filmnya. Bahkan Laskar Pelangi, sudah jauh saya selesai membacanya barulah ramai dibicarakan akan diangkat ke layar lebar. Dan khusus untuk yang satu ini...hikksss....dunia benar-benar kejam...saya belum sempet nonton film-nya. Pleaseee dehhh....seluruh Indonesia sudah segitu hebohnya dengan film ini..kemane aje sih gue..

Nah, karena jadi seperti tabu bagi saya menonton film yang diangkat dari sebuah novel, apabila saya belum membaca novelnya, maka saya putuskan untuk menyelesaikan Twilight weekend ini. Terus terang, saya terheran-heran ketika berhasil menyelesaikan novel 518 halaman ini dalam waktu 1 hari 1 malam, secara rasanya terakhir kali, Harry Potter ke-2 adalah novel yang saya selesaikan dalam 1 malam (dan ironisnya, buku terakhir Harry Potter ini pun, belum saya baca sampai sekarang...hikksss.....

Begitu membaca Twilight, saya tidak bisa berhenti, terbawa suasana. Sebenarnya ide cerita novel ini sangat simple, sederhana. Percintaan remaja, menjadi sedikit tidak biasa, karena memuat forbidden love, cinta terlarang. Lalu kembali menjadi cerita yang sedikit sudah biasa, karena meskipun forbidden love, percintaan terjadi antara seorang vampir dan manusia. Bukankah ini cerita yang sudah sering?

Lalu mengapa Twilight ini terasa sangat menggema?
Stephanie Meyer adanya yang membuat novel ini terasa nano-nano. Manis, asin, renyah, gurih, dan memaksa orang menikmatinya terus...dan terus...seakan tidak bisa berhenti, seperti ketika sedang makan keripik, yang belum berenti kalau belum habis

Pembaca dibuat menahan nafas dan menanti-nanti kapan tiba saatnya first kiss Edward (sang vampir super ganteng) dan Bella. Lalu permainan emosi pemeran dalam novel, yang mungkin kadang-kadang membuat pembaca menjadi gemes.
Edward yang bolak-balik ragu untuk mendekati Bella, karena takut mencelakakan Bella. Lalu Bella, yang seringkali ceroboh, dan menjadi seperti magnet pengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Atau ketika Bella tersiksa oleh perasaan ingin menyentuh wajah Edward....hhh....

Penggambaran tokoh Edward sendiri sudah memberikan rasa penasaran, akan seperti apakah vampir super ganteng ini diperankan dalam versi layar lebar? Sanggupkan membuat penonton wanita menahan nafas?

Saya sendiri belum nonton film-nya, dan saya sangat-sangat berniat untuk menontonnya.
Novel ini sanggup membuat saya menyesal, karena saya tidak langsung membeli buku keduanya sekalian, ketika membeli buku yang pertama. Dan rasanya saya sudah ingin berlari ke toko buku begitu saya selesai membaca buku pertamanya tadi sore. Buku ke-4 Laskar Pelangi, Maryamah Karpov, yang baru diluncurkan saja tidak membuat saya ingin berlari ke toko buku.
Hhhhh....payaaah...kok saya jadi kena demam Twilight siiih yaaa....saya bener-bener terperangkap di Twilight Zone sepertinya.
Bingung....enaknya besok pulang kantor, nonton Twilight atau ke toko buku yaaak???
Selengkapnya...