Friday, May 27, 2011

Jalan Pintas

Rabu malam kemarin, saya dan 3 orang rekan kantor lainnya terjebak hujan di Senayan City. Alhasil kami menunggu hujan disebuah kedai kopi favorit. Sebelumnya kami sudah makan malam diiringi percakapan yang cukup panjang, dari yang ringan, berat sampai yang sedikit membangkitkan emosi.
Namun apa daya ternyata hujan belum rela melepas kami pulang :)

Di kedai kopi, kami tetap tidak kehilangan bahan percakapan.
Dari yang serius sampai cerita konyol.
Nah, daripada saya menceritakan topik serius, sepertinya lebih enak menceritakan hal yang konyol saja, lumayan untuk meluruskan otot-otot dan otak-otak yang bengkok. Hehehehe.
Satu persatu kami mengisahkan masa-masa kuliah. Dua orang rekan saya menceritakan pengalaman konyol mereka ketika kuliah.

Rekan pertama saya, sebut saja Ani bercerita seperti kebanyakan orang pada masa kuliah, sering kali menitip tanda tangan untuk absensi. Waktu itu absensi dilakukan dengan cara mengisi kertas absensi yang diedarkan. Nah, demi menunjang kelancaran proses titip menitip ini, tentunya paraf harus dibuat sesederhana mungkin, sehingga teman yang dititipi tidak tiba-tiba amnesia ketika harus meniru paraf yang rumit.
Secara rekan kantor saya namanya berawalan huruf "A", jadilah dia membuat paraf, hanya berbentuk huruf "A" saja. Singkat, mudah, gampang diingat. Sebenarnya sih rekan saya itu tipikal orang yang bukan sering menitip absensi, tapi memang dia tipe orang yang tidak suka hal-hal yang ribet saja, sekalian kalau memang suatu saat ada kondisi "darurat" yang mengharuskannya melakukan perbuatan tercela (baca : titip absen), tentunya teman yang dititip tidak akan sulit meniru parafnya.
Keruwetan baru datang saat masa ujian tiba.
Rekan saya itu tidak diijinkan ikut ujian.
Alasannya?? Simple.
"Anda tidak pernah masuk kuliah".
Whatttt??
Rekan saya terheran-heran.
Lalu diperlihatkanlah padanya kertas absensi.
"Ini absensi saudara, semuanya A, alias alpa"
Gubrrraaaaakkkkkkkk. . . . .wuahahahahaha. . . .kocakkkkk.
Akhir kata, sibuklah rekan saya menjelaskan sejarah huruf "A" tersebut.

Lain Any, lain Budi. Rekan kantor saya yang lain, kita sebut saja si Budi.
Budi punya cerita lain yang konyol luarbiasa.
Budi ini rekan saya yang kalau dilihat dari penampakan luarnya sekarang, adalah tipikal "anak mami", anak pendiam, kutu buku berkacamata dan sejenisnya.
Ternyata tidak demikian dengan masa muda dulu ketika masih kuliah.
Dengan rambut gondrong dan anting di telinga. Sebelumnya, baru ini yang kita tahu tentang masa mudanya. (hahahahaha. . . .pissss 'bro)
ternyata ada satu lagi "aib" masa mudanya.
Dia dan beberapa rekannya tergerak untuk "memberi dengan pamrih" (kalau kata kasarnya sih menyuap) dosen yang ternyata bisa disuap.
Tentunya bukan disuapi makan yaaaaa. . . . .
Budi membayar sejumlah uang untuk memperoleh sebuah nilai yang baik.
Budi berharap, dia tidak perlu belajar untuk ujian mata kuliah dosen itu.
Dan itulah yang dilakukan Budi.
Alhasil Budi sukses memperoleh nilai hanya 25 ketika ujian.
Tapi Budi tenang-tenang saja,karena dia sudah berhasil mengantongi nilai minimal B, tukar guling dengan sejumlah uang.
Namun sayang disayang, tak disangka,tak ada angin tak ada hujan, ingin hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Dosen yang bersangkutan tutup usia, ketika ujian akhir belum berlangsung, sehingga tentu saja,nilai akhir pun belum keluar.
Wuahahahahahaha. . . . .(maaaaap. . .saya tidak menertawakan dosennya yang meninggal)
Pusinglah si Budi dan beberapa temannya yang melakukan hal yang sama.
Terbayanglah kenyataan tidak lulus untuk mata kuliah tersebut.
Teman-teman Budi sudah putus harapan.
Untung Budi masih punya semangat juang yang tinggi.
Sehingga dia dengan segala upaya, pantang mundur dan belajar mati-matian untuk ujian akhir mata kuliah tersebut. Budi berharap, ujian terakhir ini dapat meng"katrol" nilai 25 nya yang sudah ikut terkubur bersama dosennya.
Bersyukurlah Tuhan masih menghargai kerja keras Budi, sehingga dia lulus dengan nilai PAS, dan berhasil memperoleh nilai "C" untuk mata kuliah tersebut.
Fiuhhhhh........

Seperti Any dan Budi, sering kali dalam beberapa hal, kita menggunakan "jalan pintas".
Entah itu karena kita malas, tidak ingin ribet, ingin segala sesuatu dengan cara mudah, atau terkadang kita merasa tidak mampu bila kita melewatinya dengan "jalan biasa".
Dari cerita konyol kedua rekan saya itu, saya mendapat pelajaran yang tidak konyol.
Bahwa jalan seperti apapun yang kita pilih, masih ada kuasa lain diluar kuasa kita dan orang-orang lain.
Akan ada suatu masa, suatu titik dimana, seperti apapun kita mengusahakan, ada kuasa Tuhan yang melampaui segala sesuatu.

Tidak ada satu orangpun yang bisa memastikan hal yang ada di depan kita.
Tidak paranormal, tidak dukun, tidak cenayang bahkan diri kita sendiri pun tidak.
Karena itu sebaiknya kita tidak "menggantungkan" apapun pada orang lain, dan tidak mengandalkan diri sendiri saja.
Berusaha dan berserah pada Tuhan itu kuncinya.

Tidak ada keberhasilan yang dilalui dengan jalan pintas, semuanya melalui perjalanan dan proses.
Mungkin sering kali kita mendengar, melihat dan membaca ada banyak orang-orang yang berhasil dengan jalan pintas.
Percayalah, itu tidak akan bertahan lama.
Dan lagi, bukankah hal-hal yang kita usahakan dan perjuangkan dengan sungguh-sungguh, dengan peluh keringat bahkan dengan airmata, akan terasa jauh lebih manis dan berharga pada saat kita memperolehnya?

Terlebih lagi, jalan pintas yang tidak benar akan mendukakan Tuhan.
Untuk apa kita beroleh keberhasilan atau kekayaan di dunia ini, namun tidak memiliki apa-apa setelah kita mati dan bahkan, kita tidak tahu di mana kita akan berakhir setelah kita mati.
Surga atau Neraka?

Kembali mengutip quote bhiksuni Venerable Manko yang saya sukai,

"I get peace, knowing that what I am doing now will not give me grief or regret in my old age".



1 comment:

Unknown said...

Cerita yg menarik, tp jalan pintas tdk baik karna sukses adlh journey not a destination. Ketika kita menggunakan jalan pintas utk sukses sebenarnya mrk tdk akan pernah merasa sukses tsb