Friday, May 20, 2011

Memiliki Kehilangan

Tanggal 2 Mei yang lalu, tepat 9 tahun papa saya berpulang ke rumah Bapa di surga. Dan hampir 13 tahun berlalu sejak adik saya, satu-satunya anak laki-laki dalam keluarga saya berpulang juga ke rumah Bapa di surga. Saya tidak tahu, apakah waktu 9 tahun atau 13 tahun itu waktu yang lama atau sebentar.
Kalau berbicara rasa kehilangan, tentunya saya kehilangan. Terutama kalau sedang ada moment tertentu, kumpul keluarga, jalan-jalan, makan makanan kesukaan papa atau adik, tentunya ingatan akan mereka muncul.
Berbicara rasa kehilangan, tentunya tidaklah menyenangkan. Entah itu kehilangan karena orang yang dekat dengan kita sudah dipanggil Tuhan atau karena sesuatu hal tidak dapat berhubungan lagi dengan orang tersebut.
Kehilangan karena orang yang kita sayangi meninggal, mungkin sangatlah berat untuk diterima. Apalagi pada waktu yang mendadak.

Saya mengalaminya ketika adik saya terkena demam berdarah dan dalam waktu yang sangat singkat, tidak tertolong. Dalam kondisi yang tidak berdaya saya harus menerima kabar tersebut di tengah malam dan saya tidak mampu berbuat apa-apa, terpaksa menunggu lagi, untuk pulang ke bogor dari yogya karena saya masih kuliah pada saat itu. Rasa sesal memenuhi hati dan pikiran saya pada waktu itu, karena saya tahu sebelum sakit, adik saya menanyakan kapan saya pulang, karena dia ingin belajar gitar, meskipun saya hanya bisa main gitar asal-asalan. Saya cukup dekat dengan adik saya, meskipun kami berbeda 10 tahun. Mungkin karena kami lebih nyambung. Sejak kecil saya lebih menyukai permainan anak laki-laki, jadi saya lah yang mengajarkannya menaikkan layang-layang dan bermain-main dengan gergaji, paku, tang dan obeng untuk membuat macam-macam mainan :)
Tentunya orang tua saya sangatlah terpukul. Hendak menyalahkan pihak runah sakit yang tidak cepat tanggap, rasanya tidak ada gunanya.
Kami bertanya pada Tuhan,mengapa Dia harus mengambil, setelah Dia memberi diwaktu orang tua saya tidak lagi berharap memiliki anak laki-laki. Saya tiga bersaudara, semuanya perempuan,dan 10 tahun sejak saya lahir, ternyata Tuhan memberikan adik laki-laki pada kami, yang 12 tahun kemudian, Tuhan mengambilnya kembali.

Lain dengan papa saya yang meninggal karena sakit.
Meski kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk pengobatan papa, rasanya kami juga sadar bahwa suatu saat kami harus "melepas"nya.
Namun tetap saja, saat waktu itu datang, kami sangatlah kehilangan.
Penyesalan kembali datang untuk saya,karena saya tidak sempat menunggu detik-detik terakhir itu. Saat itu saya bekerja dan kos di jakarta. Hari itu saya sudah sangat ingin pulang ke bogor,meskipun bukan weekend, firasat mungkin.
Namun ada pekerjaan yang mendesak dan akhirnya sudah terlalu malam untuk pulang ke bogor dengan bis. Subuhnya saya mendapat kabar bahwa papa saya sudah pulang ke rumah Bapa. Sesal menusuk rasa pagi itu.

Hampir setahun yang lalu, kakak perempuan saya kehilangan bayinya yang sudah berumur 8 bulan dalam kandungan. Bayi laki-laki yang seharusnya menjadi anak kedua, setelah putri pertamanya. Aneh kalau dipikir, sementara putri pertama kakak saya, adalah bayi prematur yang lahir diusia 7 bulan, dengan berat kurang dari 1 kg. Hanya kuasa Tuhan yang membuat bayi kecil ini dapat tumbuh berkembang dengan sehat, setelah 3 bulan menjadi penghuni inkubator di rumah sakit.

Tiga bulan yang lalu, sahabat saya kehilangan kakak tercintanya secara tak terduga. Serangan jantung, dalam usia yang relatif muda, meninggalkan istri dan anaknya yang masih kecil.

Tiga bulan yang lalu juga, kawan lama saya kehilangan putri kecilnya, yang baru berumur 7 atau 8 tahun. Putri kecil nan cantik. Hingga hari ini, saya selalu miris bila membaca statusnya baik di FB maupun di BB. Status penuh kerinduan yang mendalam. Saya mengerti, tentunya kawan saya berharap dapat menyentuh, memeluk dan bercanda lagi dengan putri kecilnya.

Dua minggu yang lalu, sahabat saya kehilangan keponakannya, yang berumur 18 tahun. Ditemukan meninggal setelah 3 hari hilang ditelan keganasan pantai selatan Pelabuhan Ratu. Almarhum mencoba menolong teman-temannya yang nyaris tenggelam, namun sayang, teman terakhir yang hendak ditolong, tidak tertolong, malah membawanya turut ditelan ombak. Meninggalkan kepedihan bagi orang tua dan keluarganya.

Kisah-kisah sedih kehilangan orang terdekat tidak akan cukup berlembar-lembar bila dikisahkan.
Mungkin saya harus bersyukur karena saya bukan orang yang mengingat dengan detail untuk segala sesuatu dan saya cenderung "easy going", tidak suka memikirkan hal hal yang tidak menyenangkan secara berlarut-larut.
Sehingga pernah seorang sahabat saya mengatakan,saya seperti punya tombol "on/off", yang bisa saya tekan sesuka hati saya. Kapan saya memutuskan untuk "on" atau "off" dalam memikirkan atau merasakan hal hal tertentu.

Kehilangan orang-orang terdekat bukanlah hal yang mudah. Saya menanamkan dalam pikiran saya,bahwa mereka "tidak benar-benar hilang". Mereka hanya tidak lagi berada di sekitar saya. Sehingga saya harus membiasakan diri dengan ketidakberadaan mereka di sekitar saya. Tentunya hal ini pun tidaklah mudah. Bahkan bagi sebagian orang, sangatlah sulit. Dan beberapa orang bahkan tidak sanggup menerima kenyataan, sehingga berakhir dalam keadaan seperti "hidup di dunia lain".

Kalau berbicara dari sisi agama mengenai kehilangan orang-orang yang melalui cara meninggal dunia, tentunya akan banyak "metode" penghiburan. Ada yang mengatakan, tidak perlu takut, karena yang bersangkutan sudah berada di rumah Tuhan dan kelak kita akan berjumpa dengannya. Ada juga yang mengatakan, yang penting mari kita berdoa tanpa henti, agar yang bersangkutan dapat diterima di sisiNya. Ada juga yang percaya reinkarnasi, sehingga akan ada kesempatan bagi kita untuk bertemu dalam sosok yang lain.
Apapun bentuk penghiburan itu, kadang "belum tentu" dapat membantu kita keluar dari gelombang kesedihan. Kita berkata, teori memang gampang. Itu kan urusan "nanti" atau "kelak". Sementara ini urusan "sekarang". Urusannya sekarang ini kita tidak bisa lagi melihat orang tersebut. Tidak bisa lagi menyentuhnya, memeluknya, berbicara padanya. Kita rindu mereka "terjangkau" oleh kita.

Teringat saya akan lagu "Memiliki Kehilangan" nya Letto.
Bagi yang lupa atau belum tahu, begini lirik lagu itu :

tak mampu melepasnya walau sudah tak ada
hatimu tetap merasa masih memilikinya
rasa kehilangan hanya akan ada
jika kau pernah merasa memilikinya
pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
rasa kehilangan hanya akan ada
jika kau pernah merasa memilikinya
pernahkah kau mengira kalau dia kan sirna
walau kau tak percaya dengan sepenuh jiwa
rasa kehilangan hanya akan ada
jika kau pernah merasa memilikinya


Ada banyak pengartian untuk lagu ini.
Bagi saya, ada 2 pengartian.
Pertama, bahwa rasa kehilangan akan sesuatu atau seseorang,itu hanya akan ada kalau kita pernah merasa memiliki mereka.
Ya iyalah. . . Bagaimana mungkin kita merasa kehilangan sebuah handphone, kalau kita tidak pernah memilikinya?
Atau kita merasa kehilangan atas meninggalnya orang yang belum pernah kita kenal sama sekali?
Mungkin maksudnya adalah, menyadari, bahwa semua yang kita miliki itu, kelak akan sirna, akan hilang, akan pergi.
Semua bersifat hanya sementara, hanya titipan. Kalau sang pemiliki yang menitipkan kepada kita suatu saat mengambilnya, apakah kita akan marah? Atau tidak rela? Tuhan menitipkan adik saya pada keluarga kami hanya selama 12 tahun, setelah selama 10 tahun tidak memberi anak laki-laki pada orang tua saya. Kalau dipikir-pikir, tentu bertanya pada Tuhan, untuk apa ya diberi lalu diambil kembali.
Yah, namanya juga titipan, suka-suka yang nitip lah ya. Tapi kami bersyukur sempat "meminjamnya" selama 12 tahun.
Saya bersyukur, pernah merasakan tidak menjadi anak bontot selama 12 tahun.
Saya bersyukur, pernah merasakan memiliki adik kecil yang lucu untuk diajak bermain.
Saya bersyukur, akhirnya saya tidak sendirian saat bermain layang-layang.
Saya bersyukuf, saya pernah punya sekutu untuk menjahili kakak nomor 2 saya.
Banyak sekali kenangan selama 12 tahun itu.
Dan kenangan itu selalu ada sampai saat ini.

Demikian juga dengan papa saya, banyak kenangan akan beliau. Menantinya pulang dari luar kota, karena pasti membawakan oleh-oleh untuk kami, yang pasti kami akan berebut untuk memilih terlebih dahulu. Mendengarkannya bermain biola,okulele, atau sibuk memintanya menerjemahkan lagu mandarin. Sayang kami tidak bisa membaca huruf mandarin, sehingga tidak dapat menikmati puisi-puisi yang ditulis papa saya dalam bahasa mandarin.
Apapun kenangan tentang papa, masih hidup sampai saat ini dalam benak saya.
Saya merasa kehilangan, karena saya pernah memiliki mereka.
Dan rasa kehilangan itu, membuat saya belajar untuk menghargai apa yang saya miliki saat ini. Karena kesadaran, bahwa suatu saat akan tiba, dimana sudah habis waktunya bagi saya untuk memilikinya.

Arti kedua lagu itu bagi saya,mengutip lirik "rasa kehilangan, hanya akan ada jika kau pernah merasa memilikinya", saya artikan bahwa, rasa kehilangan akan ada, kalau kita memiliki "rasa kehilangan" itu.
Membingungkan ya. . .hehehe.
Begini maksudnya, saya mencoba mengerti bahwa, ketika papa saya atau adik saya meninggal, sesungguhnya saya tidak benar-benar kehilangan orang-orang yang saya kasihi. Saya tetap memiliki mereka, meski kini mereka tidak ada lagi disekitar saya.
Hal ini membuat saya tidak berlarut-larut dalam rasa kehilangan.
Bahwa sesungguhnya, rasa kehilangan itu lambat laun akan sirna. Waktu akan menolong saya untuk membuat rasa itu sirna.
Tentu saja, kalau saya "mengijinkan" sang waktu itu untuk membantu saya.
Saya memilih untuk tidak terus memiliki rasa kehilangan itu.

Seringkali, kita tidak mengijinkan siapapun untuk membantu kita melewati masa-masa sulit akibat kehilangan. Tidak mengijinkan Tuhan, keluarga, teman bahkan sang waktu.
Kita menolak memasuki "jalan waktu", kita ingin waktu berhenti, bahkan kalau bisa mundur, sehingga kita tidak perlu mengalami kehilangan itu. Dan kita enggan beranjak. Kita menikmati kesedihan, menikmati rasa kehilangan.

Mengutip pepatah umum, bahwa sesungguhnya tidak ada yang abadi di dunia ini.
Siap atau tidak, senang atau tidak, kita harus berhadapan dengan rasa kehilangan.
Kehilangan karena ditinggalkan anggota keluarga yang kita cintai, kehilangan sahabat-sahabat karena jarak dan waktu, kehilangan kekasih yang mungkin tidak lagi mencintai kita, apapun bentuk kehilangan itu, janganlah larut dalam rasa kehilangan itu.
Kita masih memiliki apa yang masih ada pada kita.

Mengapa segala sesuatu ada akhirnya? Segala sesuatu ada waktunya?
Sesuatu yang selalu ada, akan membuat kita "kurang" menghargainya.
Seperti doa sang pemazmur, "Ajarlah kami mengitung hari-hari kami sedemikian, hingga kami beroleh hati yang bijaksana".
Bijaksana untuk sadar bahwa semua yang kita miliki tidak ada yang abadi, suatu saat masa meminjamnya akan berakhir.
Hargai dan sayangi apa yang dipinjamkan sementara itu.

Mari kita menghitung hari, sehingga bila saatnya tiba, kita tidak lagi tersentak...
Dan bila saatnya tiba, kita memiliki kenangan yang cukup, karena :

"kehilangan seseorang yang dekat dengan kita, tidak berarti mereka benar-benar hilang, mereka hanya 'tidak hadir' lagi, namun mereka tetap ada dalam kenangan, yang bahkan mau sekalipun tidak akan dapat menghancurkannya".


www.menunggu-hujan.blogspot.com

1 comment:

gunawan said...

Nice writing, Det! Nggak nyangka bis nulis juga ya. Bagusnya dikumpulkan nih tulisan2nya
Tuhan berkati