Thursday, November 27, 2008

BLAKANIS


Akhirnya setelah melewati libur kemerdekaan, buku ini berhasil saya selesaikan. (Unfortunattely, baru sekarang sempat menuliskan apa yg saya temukan dalam buku ini)
Buku yang menarik, dari cover-nya. Ya meskipun ada pepatah "don't judge a book by it's cover"...jujur, saya kadang kala tertarik pada sebuah buku karena cover-nya yang memikat mata. Arswendo Atmowiloto sang penulis buku ini pun memberikan daya tarik tersendiri bagi saya. Meskipun, sekali lagi..don't judge a book by it's Author :D

Setelah membaca cuplikan buku ini, baru saya sadar judulnya diambil dari bahasa jawa.. "blaka".
Alur cerita dipaparkan dari berbagai sudut pandang para pelakon utama dalam buku ini, yang semuanya menceritakan pengalaman maupun pandangan mereka dalam menganut "blakanis".

Lakon utama diperankan oleh seorang pria yang menyebut dirinya sebagai Ki Blaka.
Nama aslinya Wakiman, usia diduga mendekati 60th. Mengaku berdarah bangsawan, dan mengaku pernah mendaftar masuk angkatan laut. Di suatu pemukiman, Ki Blaka datang dan menetap, mengenalkan diri pada warga, mengundang warga datang dan mengajak mengobrol warga. Ketika mengobrol, Ki Blaka mengajak orang-orang untuk menjawab pertanyaan dengan jujur dan sebaliknya, Ki Blaka akan menjawab dengan jujur semua pertanyaan yang diajukan padanya. Semakin lama peserta ngobrol makin banyak dan menjadi rutin dilakukan. Pemukimannya lalu dikenal dengan Kampung Blakan dan orang-orang yang menghadari acara lalu mengikuti pandangan Ki Blaka ini, menyebut dirinya dengan Blakanis.

Ada tokoh Emak, yang sebenarnya adalah seorang suster bernama Emmanuella. Suster Emak tertarik pada Ki Blaka dan banyak membantunya. Suster Emak pun sempat bimbang, apakah benar ia terpanggil?

Lalu ada pula tokoh Ai, berumur 25th, cantik, istri seorang yang kaya dan terkenal, memiliki 1 anak, pernah menjadi model iklan. Ai inilah yang mempopulerkan kebiasaan “adus Ai”, ritual mandi telanjang di sungai sebelum mengikuti pertemuan para blakanis.
Novel dengan 4 bagian ini, diawal dengan cerita dari sudut pandangan Mareto, intel polisi yang dipecat dan aktif dalam kegiatan kampung Blakan. Ketika kampung blakan dan kegiatan blakanis terancam oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan, Mareto merasa membunuh Ki Blaka adalah tugasnya, untuk menolong Ki Blaka sendiri. Karena menurutnya, hanya kematian yang bisa menjadi penyelamat hidup.

Ketika makin banyak orang dari berbagai tempat dan kalangan yang mengikuti kegiatan blaka ini, termasuk pejabat pemerintah yang jujur mengatakan tentang korupsi yang dilakukan dan siapa saja yang terlibat, maka ini keberadaan Ki Blaka dan kampung Blakan menjadi ancaman bagi orang-orang tertentu yang lalu berniat melenyapkan Ki Blaka dan kampung Blakan.

Mengikuti alur novel ini mungkin sedikit rumit, karena bukan diceritakan berdasarkan runtutan waktu. Tapi lebih ditekankan pada penceritaan oleh tokoh-tokoh utama, ditambah dengan tokoh-tokoh tambahan lain yang merupakan pengunjung kampung Blakan.
Pelakonan para tokoh cukup bervariasi, berasal dari berbagai macam latar belakang sosial dan profesi.

Yang menarik sesungguhnya adalah ide cerita.
Pembaca dibawa untuk membayangkan suatu pandangan yang dianut oleh seorang Ki Blaka yang kemudian menyebar ke beberapa orang, lalu melanda berbagai daerah sampai akhirnya terbayang suatu negara "blakanis".
Mungkin ini menyuarakan pesan tersendiri dari Sang Penulis.
Dengan cukup piawai, penulis mencoba menyentuh berbagai kalangan, fenomena atau bahkan ritual-ritual yang terjadi di negeri ini.


NILAI-NILAI

Saya sendiri, berulangkali menandai setiap kalimat yang menyentuh dan membuat saya berpikir ulang, atau bahkan menengok ulang serta membandingkan dengan kehidupan nyata.

Kejujuran itu seperti bernapas.
Kita tak perlu belajar terlebih dahulu, tak perlu mengatur bagaimana memulainya. Sangat sederhana, semua juga bisa melakukannya.
Memang demikian seharusnya, tapi nyatanya, sulit sekali melakukan kejujuran. Seringkali kita mati-matian menutupi siapa diri kita sesungguhnya, Jaim (jaga image) dsb.
Dalam salah satu percakapan, intinya, mengapa orang dengan mudah mengatakan percaya pada Tuhan namun tidak hidup jujur? “Kalau kepada Tuhan kita tak berani jujur, apalagi kepada sesama manusia.”

Kejujuran tidak menghapus dosa
Seorang yang mencuri motor, tidak dengan sendirinya menjadi bebas dari tuntutan karena ia berkata jujur. Ia tetap melakukan kesalahan dan ada penyelesaiannya sendiri. Kejujuran bukan berarti menjadi sakti. Kejujuran tidak dapat menghapus dosa, tapi dapat meringankan beban.
Seringkali, ketika berkata jujur, kita beranggapan semua kesalahan atau dosa menjadi hilang begitu saja. Berkata benar dan bertobat adalah satu hal, namun setiap perbuatan dosa, pasti ada perhitungannya sendiri, dan Tuhan Sang Hakim Agung yang berhak menghitungnya.

Klop
Dalam satu kesempatan, Ki Blak bercakap-cakap dengan seorang anak muda pengunjung kampung Blakan. Wahyu Ariotomo, seorang sarjana yang akan di wisuda, namun sebatang kara dan sedang berusaha keras untuk menemukan seorang “ibu” untuk mendampingi acara wisudanya. Yang lalu secara kebetulan, bertemu dengan Lola (Ola), wanita 42 tahun yang pergi ke kampung Blakan bersama 4 sahabatnya. Lola, mantan pelacur yang dinikahi pelanggannya, namun ditinggal kawin lagi, kemudian menjadi mucikari. Menemukan “pencerahan” di kampung Blakan, termasuk bertemu dengan Wahyu yang “menyewanya” untuk berperan sebagai ibu. Nasehat Ki Blaka pada Wahyu yang sudah hampir putus asa waktu itu adalah :
“Sebenarnya sederhana saja. Kamu mencari seseorang untuk menjadi ibu kandung kamu, dan banyak sekali ibu kandung yang juga mencari anak-anaknya. Kalau bisa ketemu, itu namanya klop. Kalau tidak, ya barangkali belum. Terus dicari.
Sederhana itu begini. Saya sakit kepala, diberi obat sakit kepala. Itu klop. Saya butuh uang, ada yang mau memberi utang. Itu klop. Tapi kalau belum klop, segalanya menjadi susah. Saya sakit kepala, dapat obat sakit jantung, kan tidak memberikan hasil.
Contoh lain yang diberikan Ki Blaka, tentang Keris Pusaka. Kalau pembelinya bukan penggemar keris atau barang antik, ya tidak mau membeli, atau membeli dengan harga murah. Bukan berarti keris pusaka itu tidak berharga, bukannya dunia tidak mau membayar, bukannya tak ada penghargaan untuk itu, melainkan perlu ada orang atau waktu yang tepat.
“Kalau kamu perempuan, sedang hamil, ngidam durian, diberi nangka, tentu tak mau menerima. Bukan durian lebih bagus dari nanga,atau sebaliknya, melainkan mana yang klop.
Seringkali, daripada menunggu yang “klop”, kita terburu-buru menerima yang tidak klop atau kurang klop, atau kita memaksa untuk menganggap klop atau meng-klop kan sesuatu??


Catatan dalam hati
Pada suatu percakapan antara Suster Emak dan Ai, Emak berkata,
“Ai, sejauh yang saya tahu, kalau kita blaka, tidak berarti memperlihatkan payudara kita. Atau mengatakan apa yang pernah kita dustakan. Kalau kita takut berdusta, kita tak usah menjawab pertanyaan yang diajukan. Tidak usah menjawab dengan kata-kata. Cukup menjadi catatan dalam hati kita.”

Sesungguhnya, kejujuran bukanlah hal yang mudah di jaman sekarang ini. Pun bila kita mau memulai untuk hidup jujur, apakah kita perlu mengakui semua ketidakjujuran yang pernah kita perbuat sejak kita lahir?
Seperti apa yang Ki Blaka katakan, “Saya bisa saja mengatakan, mulai sekarang saja kita jujur. Tak usah menanyakan masa lampau... atau yang akan datang. Kejujuran tidak bisa disekat mulai tahun 2000 atau 2007 saja.”
Namun bagaimana dengan rumah tangga yang hancur berantakan, karena kejujuran yang dilakukan? Yah, benar, seringkali, tanpa bermaksud jahat pun, kita bisa menjadi jahat.
Ungkapan Arswendo melalui Ki Blaka ini, memang patut kita renungkan. Banyak hal dan kejadian yang saya alami, lihat maupun dengar, dimana, niat baik seseorang, ternyata tidak berakhir dengan kebaikan. Maksud hati menolong orang, ternyata malah jadi menyusahkan orang.

Ya, tentunya, kejujuran haruslah diletakkan pada “tempat”nya.
Kejujuran bukan senjata untuk menghakimi, mengutuk, menista, atau mencari kejelekan. Juga bukan untuk mencari kemenangan.

Saya jadi teringat pesan Babe Benyamin pada si Doel anaknya, dalam sinetron Si Doel Anak Betawi...”Doel, Hidup tuh mesti jujur...jujur...jujur...kalo lo ga jujur, bakalan ancur....”
Tapi kok hari gini, lebih sering terkesan hidup jadi ancur justru karena jujur yaaak?
Hmmm....mungkin norma-norma dunia memang lagi terbalik.

No comments: